6 Alasan Mengapa Indonesia Keluar Dari PBB
Indonesia masuk
menjadi anggota PBB pada 28 September 1950 dan menjadi anggota resmi ke 60.
Indonesia sempat keluar dari PBB, tepatnya Januari 1965 silam. Indonesia keluar
dari PBB karena Malaysia, musuh Indonesia saat itu menjadi dewan keamanan PBB.
Tetapi, pada tanggal 19 September 1966 Indonesia mengajukan permohonan untuk
kembali menjadi anggota PBB. Permohonan itu diterima pada 28 September 1966 dan
Indonesia secara resmi kembali lagi menjadi anggota PBB. Dan dibawah ini
adalah 6 alasan mengapa Indonesia keluar dari PBB.
Pertama, soal kedudukan PBB di
Amerika Serikat. Bung Karno mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika
Serikat dan Uni Sovyet lengkap dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka
tidak sepatutnya markas PBB justru berada di salah satu negara pelaku perang
dingin tersebut. Bung Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di
Asia, Afrika, atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan Sovyet.
Kedua, PBB yang lahir pasca perang
dunia kedua, dimaksudkan untuk bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara
cepat dan menentukan. Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan
lamban dalam menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali,
yakni saat pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB
tidak membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan perdebatan. Selain itu,
pasca perang dunia II, banyak negara baru, yang baru saja terbebas dari
penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam piagam-piagam yang dilahirkan
maupun dalam preambule-nya, tidak pernah menyebut perkataan kolonialisme.
Singkatnya, PBB tidak menempatkan negara-negara yang baru merdeka secara
proporsional.
Ketiga, Organisasi dan keanggotaan
Dewan Keamanan mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan tahun 1945,
tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis serta munculnya
perkembangan cepat kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka tidak
diakomodir karena hak veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan
Taiwan (sekarang diganti RRC). Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada
satu orang pun yang berusaha bergerak mengubahnya.
Keempat, soal sekretariat yang selalu
dipegang kepala staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya
banyak mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem Barat.
Bung Karno tidak dapat menjunjung tinggi sistem itu dengan dasar, “Imperialisme
dan kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara Barat. Seperti halnya
mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan aku jijik pada kolonialisme.
Kelima, Soekarno menganggap PBB
keblinger dengan menolak perwakilan Cina, sementara di Dewan Keamanan duduk
Taiwan yang tidak diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno, “Dengan
mengesampingkan bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah
penduduk, kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu bangsa yang
penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan bangsa itu, maka PBB
sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk berunding justru karena ia
menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.
Keenam, tidak adanya pembagian yang
adil di antara personal PBB dalam lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah
seorang Amerika. Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB
diketuai orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya
pembentukan Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB,
diketuai orang Amerika bernama Michelmore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar